Thursday, May 30, 2013

Ada Telapak Kaki Nabi Adam di Puncak Gunung di Sri Lanka, Betul Kah ?

::: Di Puncak gunung ini ada satu jejak telapak kaki ukuran besar, konon itu adalah jejak telapak kaki Nabi Adam pada saat Beliau pertama kali tiba di bumi :::
Di gunung Adam Peak di Sri Lanka, terdapat sebuah jejak telapak kaki berukuran sangat besar (180 cm).  Kini dicetak di atas batu safir berukuran besar, dikeramatkan oleh pemeluk Hindu, Budha, Kristen dan Islam sekaligus oleh suku asli Sri Lanka. Tapi ? Jangan tanya padaku sebenarnya itu jejak kaki siapa ? karena akupun tak tahu.

Iseng iseng ku ukur telapak kakiku, panjangnya 24cm, tinggiku 165cm. Jejak kaki di puncak gunung itu 7.5 kali lebih panjang dari tapak kakiku. Jadi siapapun pemilik jejak kaki itu semestinya memiliki tinggi paling tidak 12.4 meter. Wow, nggak butuh tangga lagi untuk betulin antene tivi di atas genteng yang mlintir ketiup angin.


Menjulang tinggi 2243 meter dari permukaan laut, Adam’s Peak begitu orang menyebut nama tempat ini. Disebut Adam’s Peak karena konon katanya Jejak Telapak kaki di puncak gunung inia dalah bekas telapak kaki Nabi Adam. Konon juga ketika Nabi Adam di usir dari surga ke dunia beliau di tempatkan di puncak gunung ini karena letaknya yang paling dekat dan paling mirip dengan sorga (iya kah ?). 

Tuhan juga menghukum nabi Adam harus bediri dengan satu kaki di puncak gunung itu sebagai bentuk penebusan dosa. Karenanya kemudian bekas telapak kakinya membekas disana, dan hanya sebelah bukan sepasang.

::: berselimut kabut di ketinggian, puncak gunung ini menyimpan misteri ribuan tahun::

Suku Veddas menyebutnya sebagai Samanal Kanda, saman merupakan salah satu dari empat dewa penjaga pulau. Dan secara tradisi turun temurun gunung ini merupakan gunung suci yang dipuja oleh suku Veddass. Suku Veddas meski merupakan suku asli pedalaman Sri Lanka tapi jumlah mereka sangat sedikit. 

Suku Shinhala menyebutnya Sri Pada (tapak kaki suci). Tradisi kuno orang Shinhala (suku terbesar Sri Lanka) menyebut gunung ini sebagai gunung yang agung “jarak dari sana ke surga hanya empat puluh mil, dan suara percikan air pancuran surga terdengar di tempat ini”. 

::: Di puncak yang sempit ini, ummat dari berbagai agama harus sabar mengantri untuk sekedar melihat jejak kaki ukuran raksasa tersebut, pada musim kunjungan wisata yang ramai pengunjung 

::: Di puncak yang sempit ini, ummat dari berbagai agama harus sabar mengantri untuk sekedar melihat jejak kaki ukuran raksasa tersebut, pada musim kunjungan wisata yang ramai pengunjung 

Ummat Hindu menyebutnya Sivan Adi Padham, karena menurut tradisi Hindu tempat itu merupakan tempat Dewa Siwa menarikan sebuah tarian kreatif dan meninggalkan jejak telapak kaki berukuran raksasa tersebut.

Menurut ummat Budha, jejak kaki itu sudah eksis sejak tahun 300 sebelum masehi, sebenarnya jejak telapak kaki yang asli berada dibawah jejak telapak kaki yang ada sekarang. Jejak kaki itu Merupakan peninggalan Budha Gautama dalam kunjungannya yang ke tiga dan terahir kalinya ke Sri Lanka.

::: Seorang pendeta Budha di Adam's Peak :::

Ketika Portugis yang beragama Kristen menduduki Sri Lanka di abad ke 16 mereka mengklaim jejak kaki itu adalah jejak kaki Saint Thomas yang menurut legenda merupakan orang pertama yang membawa ajaran Kristen ke Sri Lanka. 

Jadi ? sebenarnya itu bekas jejak kaki siapa ?.

Sunday, May 26, 2013

Al-Qur'an Stambul Si Mungil Yang Penuh Misteri

Al-Qur'an mini atau biasa disebut Qur'an Stambul.
Qur;an Stambul atau Al-Qur'an Istambul adalah sebutan yang biasa di identikan dengan mushaf Al-Qur'an berukuran mini, lebih kecil dari kotak korek api. Entah apa hubungannya dengan kota Istambul, Ibukota Kekhalifahan Usmaniah di Turki itu. Yang pasti, bahwa Istambul memang merupakan Ibukota ke khalifahan Islam terahir, sangat masuk akal bila sesuatu yang berhubungan dengan Al-Qur'an di kaitkan dengan kota tersebut.

Qur'an mini, ini sebenarnya banyak dijual meski memang tidak tersedia disemua toko. Jema'ah haji atau umroh dari tanah suci seringkali membawa Qur'an mini ini sebagai oleh oleh. Bentuknya yang unik memang cukup menarik untuk sekedar dikoleksi, karena memang untuk dibaca di keseharian agak sulit karena hurupnya yang terlalu kecil.

Ada cerita menarik tentang Al-Qur'an dengan ukuran yanga sangat mini ini. dari sudut pandang para praktisi spritual, mushaf Qur'an satu ini disebut sebut sebagai Al-Qur'an yang tidak dicetak oleh manusia. Qur'an Stambul konon di buat oleh golongan jin muslim untuk membantu manusia muslim. kenapa bisa begitu.

Mushaf Qur'an stambul yang dimaksud adalah, mushaf Qur'an dalam ukuran mini tersebut, keseluruhan aksaranya ditulis menggunakan tinta emas khusus yang dapat menyala dalam gelap dan tetap dapat dibaca dengan mata normal tanpa bantuan kaca pembesar, meski ukurannya sangat mini.

Qur'an mini dengan ukuran lebih kecil dari telapak tangan.
Kenapa menyala dalam gelap ?. karena konon memang dulunya pada suatu masa, segolongan muslim mendapatkan tentangan yang teramat keras dari penguasa sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk membaca Al-Qur'an di kondisi normal karena sangat membahayakan keselamatan mereka. maka segolongan Jin Muslim membantu mereka dengan membuatkan Qur'an Stambul dengan kriteria yang disebutkan tadi. 

Ada satu hal lagi yang cukup menarik, setidaknya cukup menarik untuk dibuktikan, itupun bila anda penasaran. Konon Qur'an Stambul "yang asli" memiliki pamor yang luar biasa sampai sampai aliran air pun "segan untuk menyentuhnya". Dengan pengertian bahwa seandainya Qur'an stambul tersebut diletakkan di aliran sungai, maka aliran air yang terhalang oleh Qur'an tersebut akan menghindarinya dengan naik ke atas, tanpa berani mengalir menyentuh apalagi melangkahi Qur'an tersebut.

Di Nigeria, negeri di Afrika itu pernah dihebohkan oleh seorang bayi yang disebut sebagai ajaib karena ada Al-Qur'an mini nan imut itu di dalam genggaman tangannya saat lahir dari rahim ibu-nya. Berita tersebut begitu menyedot perhatian masyarakat setempat dan tak pelak menimbulkan dampak bagi masyarakat sekitarnya, termasuk bagi keluarga si bayi yang sebelumnya adalah keluarga non muslim dan langsung memeluk Islam paska kejadian tersebut.

menarik bukan ?. apakah itu hanya dongeng, legenda, mitos atau memang fakta ? Wallohuwa'lam.

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga

Friday, May 17, 2013

Unique Spot At Sanggabuana

Komplek Makam di atas Awan

Beberapa pendaki menggelari puncak gunung Sanggabuana di perbatasan Kabupaten Karawang, Purwakarta dan Cianjur ini Sebagai KOMPLEK MAKAM DI ATAS AWAN karena puncaknya yang dipenuhi oleh jejeran makam makam tua. Bagi sebagian orang makam makam itu dianggap sebagai makam keramat. Berikut beberapa foto foto dari lokasi tersebut.

KUBURAN PANJANG. Beberapa pendaki menyebut puncak gunung Sanggabuana sebagai kuburan diatas awan. Di puncak gunung ini memang terdapat sederet makam makam tua, diantaranya makam yang satu ini yang memiliki ukuran panjang tidak lazim, karena terlalu panjang untuk ukuan orang biasa.

UYUT PANJANG. Begitu nama yang tertulis di nisan Kuburan Panjang ini. Konon nama itu adalah nama alias dari Sri Paduka Maharaja. Siapa Dia ?
SARITEM. ada kaitannya dengan Saritem di Kota Bandung ? Masak iya sih.
KUBURAN DI ATAS AWAN. sebutan itu ada benarnya juga. Silahkan buka google earth atau google map ketikkan  6°35'26.94"S 107°13'0.83"E dan anada akan temukan pemandangan itu. 
BEGITU BANYAK JIWA. 
KUBURAN JUGA KAH ?. Diresmikan, Aldi, Sunaryo, Buana. Mungkin orang iseng menulis nama mereka di batu ini atau mungkin itu nama orang orang yang dulu membangun pemakaman ini atau mungkin itu tadinya memang nisan tanpa nama ?
TANPA NAMA
WARKOP DI TENGAH HUTAN GUNUNG. agak aneh tapi nyata. beruntung ada warung ditempat terpencil seperti ini, ada tempat ngaso sementara, sambil nyeruput kopi panas dan semangkuk mie instan panas, meski bila malam hari gelap gulita.
PENDAKI NYEKER ?. Bukan, mereka adalah para peziarah yang sengaja mendaki gunung Sanggabuana untuk berziarah. beberapa dari mereka mengaku memiliki pertalian dengan yang bermakam di puncak gunung ini.
POHON KEMENYAN YANG MATI MERANA. di gunung ini jangan kaget bila tiba tiba mencium semerbak bau kemenyan karena memang bertebaran pohon pohon kemenyan tua seperti ini, yang sebagian darinya sudah mati berdiri karena dikupas kambiumnya oleh para penjarah tak bertanggungjawab yang mengambil getahnya untuk dijual sebagai kemenyan.
TAK ADA KATA TERLALU TUA UNTUK MENDAKI. beliau salah satu para "pencari ilmu" yang sengaja berziarah ke puncak Sanggabuana untuk menemukan ketenangan bathin.
INI APA ? lokasinya pas di depan makam Langlangbuana.
-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga


Semerbak Bau Kemenyan Di Gunung Sanggabuana

Puncak Gunung Sangga Buana Karawang. Layaknya sebuah pemakaman di atas awan. Sederet kuburan kuburan tua, beberapa diantaranya kini sudah dibangun berupa bangunan semi permanen.

Makam – Mistis – Mitos

Gunung Sanggabuana (1291 mdpl) di Kabupaten Karawang memang sangat identik dengan mistis, terkait dengan terdapat sederetan makam makam tua yang dikeramatkan di puncak gunung tersebut. Berada di puncak gunun ini serasa berziarah di makam makam yang berada di atas hamparan awan. Sebagian besar dari pendaki ke gunung ini bukanlah pendaki biasa. Rata rata sengaja datang kesana bukan sekedar untuk menikmati keindahan alam tapi dengan berbagai niatan dan keperluan, terkait dengan ziarah makam yang ada disana.

Makam keramat tidak hanya ada di puncak gunung, tapi sekitar setengah perjalanan dari arah karawang kita akan berjumpa dengan satu komplek makam tua yang disebut sebut sebagai makam Langlangbuana. Malam hari ketika kami tiba di area tersebut aroma bau dupa sontak menusuk hidung. Suara orang orang yang sedang khusu’ berzikir terdengar santer dari dalam bilik makam.

Di sekitar makam Langlangbuana
Makam Langlangbuana berada di bawah rimbun beberapa pohon yang tinggi besar menjulang. Tak jauh dari sungai dengan pancuran yang terkenal dengan nama pancuran air mata ibu. Ada beberapa pondokan tempat singgah sementara disana. Kang iing putra dari si Emak Kuncen Makam dengan ramah menyambut siapapun yang lewat tempat tersebut seakan sudah kenal lama.

Beberapa pendaki atau peziarah sedang istirahat di pondokan dekat perapian disana juga dengan begitu ramah menyapa kami bertiga. Kondisiku memang kontradiktif. Kedinginan tapi baju basah kuyup oleh keringat, dan badan rasanya . . . . . Kuturuti saran dari beberapa kenalan disana, baju basahku kugantung di atas perapian aku sendiri ngeloyor ke pancuran dan jebar jebur mandi disana ditengah dinginnya malam, benar saja badan terasa lebih segar ditambah lagi dengan segelas kopi panas sambil ngaso . . . . .

Bakda subuh di puncak gunung Sanggabuana
Setengah dua belas malam lewat beberapa menit kami baru tiba di puncak gunung ini. sangat lambat untuk ukuran mereka yang sudah biasa mendaki, bahkan jauh lebih lambat dibandingkan dengan dua pendaki yang salah satunya sudah sangat sepuh (alias sudah aki aki ) yang menyalib kami saat separuh perjalanan.

Tak percuma perjuangan hanya bermodal semangat pantang menyerah ahirnya sampai juga. Si Kakek dengan hangat menyambutku ketika aku tiba di puncak, beliau sudah dengan santai menyantap kambing bakar bersama sekelompok pendaki lainnya di salah satu pondokan disana. Wuah.

Ada Apa di Puncak Sangga Buana ?

Matahari terbit di puncak Sanggabuana
Seperti disebut di awal tadi, mendaki ke gunung ini tak perlu bawa tenda. Di puncaknya ada dua warung yang buka 24 jam. Dua-duanya menyediakan pondokan luas berlantai kayu setinggi sekitar 75cm, berdinding bilik bambu dilapis terpal untuk mengurangi dampak cuaca dingin puncak gunung. Dan yang paling menarik adalah, nginap disini gratis Brow. Tapi jangan lupa tata krama dan sopan santun, yang namanya numpang ya kudu permisi sama yang punya.

Ada simbiosis mutualisme diantara para pendaki dan pemilik warung ini. para pendaki butuh shelter atau tempat menginap sementara yang cukup nyaman dan tentu saja butuh konsumsi sementara pemilik warung butuh pembeli bagi dagangannya. Klop kan !.

Jejeran bangunan di puncak Sanggabuana, diantara bangunan ini terdapat dua warung yang menyediakan shelter gratis bagi para pendaki maupun peziarah.
Selain dua bangunan warung besar ini ada sederet bangunan semi permanen disana. Tapi itu bukan warung atau bangunan tempat menginap melainkan bangunan makam. Dua shelter di dua warung yang ada disana penuh oleh para pendaki yang numpang tidur. Dan jangan heran diantara mereka juga ada anak anak yang ikut / di ajak orang tua mereka.

Siapa Saja Yang Bemakam di Puncak Sangga Buana

Sempat juga terpikir, dulu semasa hidupnya kira kira mereka yang bermakam dipuncak gunung ini ngapain kesana ya ?. temenku dengan entengnya nyelentuk “bisa jadi mereka memang menyepi kesini atau menhindari sesuatu, tinggal disana dan sudah terlalu tua untuk turun lagi, sampai kemudian wafat disana dan tak memungkinkan untuk dibawa turun dan dimakamkan disana deh”. Buruh sedikit belajar sejarah untuk memahami pertanyaan sederhana itu.

Makam Uyut Panjang, bangunan semi permanen warna hijau di latar belakang adalah makam Ki Balung Nunggal atau Ki Balung Tunggal. tak jauh dari tempat ini beberapa meter turun ke arah selatan ada bangunan masjid yang cukup lapang bagi para pendaki dan peziarah.
Yang paling menarik dari makam makam tua yang ada disana, ada satu makam dengan ukuran yang tidak lazim. Di batu nisannya bertuliskan nama “Uyut Panjang”. teman seperjalananku bilang bahwa nama aslinya adalah “Sri Baginda Maharaja” tapi karena makamnya yang berukuran panjang itu makanya disebut Uyut Panjang lalu siapa pula Sri Baginda Maharaja itu?.

Disebelah makam Uyut Panjang ada bangunan semi permanen di dalamnya ada satu makam, makam Eyang Balung Nunggal atau Balung Tunggal. Untuk yang satu ini memang agak membingunkan mengingat begitu banyak situs di internet yang menyebutkan bahwa makam Balung Tunggal ada di Sangkan Djaya, Sumedang, seperti disebutkan di saungdedimlyd.web.id dan sumedangonline.com.

warung pondok pendaki 
Ceriwis.com memberikan penjelasan lebih rinci dengan penjelasan :

Menurut data yang dikeluarkan oleh Yayasan Pangeran Sumedang, orang-orang sakti yang dimakamkan di Ciburial adalah makam Balung Nunggal, manusia tanpa pusar, Dalem Kula Nata Salam Kusuma, biasa disebut Mbah Sadim, Petilasan Tajimalela bahkan pengusaha besar era tahun 80-an, Haji Karya, keturunan ketujuh Mbah Dalem Sadim yang dimakamkan berdampingan.

Bangunan makam yang lainnya bertuliskan nama Kiai Bagaswara di pintu masuknya sementara di batu nisannya sendiri tanpa nama. Siapa Kiai Bagaswara ? sayapun tidak tahu, nama itu merupakan tokoh dalam komik Api Di Bukit Manoreh karya S. Mintarja, Orang itu kah?. Masih ada beberapa bangunan bangunan makam lainnya mulai dari yang berukuran cukup lapang sampai yang berukuran kecil dan tidak semua makam tersebut dilengkapi dengan nama.

turun ke Loji - Karawang
Salah satu yang paling menarik adalah salah satu bangunan makam di ujung timur komplek makam ini yang bertuliskan “Eyang Saritem, dibangun tgl 11 bln 6 2003”. Saya sebut menarik karena nama Saritem nya itu loh. Nama itu identik dengan nama ruas jalan kecil di pusat kota Bandung yang sempat menjadi pusat prostitusi. Ada hubungannya ?. masak iya.

Sejauh ini saya belum menemukan literatur yang menjelaskan secara rinci siapa saja yang bermakam di puncak Gunung Sanggabuana itu, siapakah mereka dan mengapa mereka bermakam disana ?. Hanya saja, dalam dunia kebathinan yang disebut Makam atau Makom tidak selalu bermakna Kuburan, bisa juga bermakna Petilasan atau tempat yang pernah disinggahi.

tanpa nama
Maka : Makam atau Maqom Uyut Panjang tidak serta merta bangunan kubur yang ada disana merupakan kuburan dari yang bersangkutan, bisa jadi merupakan petilasan atau dulunya semasa hidupnya pernah singgah disana atau tapa disana. Lalu generasi setelah dial ah yang kemudian membangun kuburan disana untuk mengenang beliau yang pernah singgah disana. Makanya kadangkala satu orang bisa memiliki begitu banyak makam alias maqom. Hanya saja, seiring perjalanan waktu informasi tentang hal tersebut menjadi samar kadangkala bahkan sirna sama sekali sehingga terjadi kesalahan penafsiran. Wallohua’lam.

Pohon Kemenyan, Mati merana karena wanginya

Sebenarnya semerbak bau kemenyan sudah tercium di malam hari sepanjang perjalanan mendaki puncak gunung ini. hanya saja tak sempat berpikir macam macam karena konsentrasi terkuras pada usaha mengalahkan beratnya medan untuk sampai ke puncak, apalagi untuk mencari tahu darimana sumber aroma kemenyan yang semerbak mewangi itu.

pohon kemenyan yang merana
Ke-esokan harinya dalam perjalanan pulang, pertanyaan sekilas dalam hati itu terjawab. Seorang pendaki yang sengaja naik ke gunung ini untuk berziarah turun bersama kami serombongan dengan para pria yang rata rata sudah berusia matang, diantaranya bahkan ada kakek kakek yang sengaja bergabung bersama kami supaya ada teman sesama ngesoter’s alias yang jalannya alon alon asal kelakon.

Ternyata semerbak aroma kemenyan yang kami cium tadi malam berasal dari pohon kemenyan yang memang bertebaran tumbuh liar di hutan gunung ini. Pohon kemenyan putih memiliki postur yang sangat besar dan tinggi, salah satu peziarah itu yang menunjukkan pohon pohon tersebut kepada kami. Aroma semerbak itu berasal dari getah pohon ini.

indah bukan.
Hanya saja sangat disayangkan, pohon pohon tua itu banyak yang mati merana karena di kuliti oleh orang orang tak bertanggung jawab untuk mengambil getahnya. Getah pohon ini yang kemudian membeku seperti batu dan dijual sebagai kemenyan. Jangan sampai terkecoh dengan fungsi kemenyan semata mata sebagai propertinya paranormal atau dukun.

Kemenyan memiliki banyak kegunaan termasuk didalamnya dijadikan bahan untuk minyak wangi, kosmetik dan lainnya. Di beberapa kabupaten di Propinsi Sumatera Utara, getah kemenyan bahkan menjadi salah satu komuditas ekport andalan, disamping untuk memenuhi permintaan pasar local.

Proses penyadapan getah pohon kemenyan bila dilakukan dengan baik dan benar tidak akan sampai menyebabkan kematian pohonya, namun yang terjadi pada beberapa pohon kemenyan di hutan Gunung Sanggabuana ini, para penjarah itu menguliti pohon bagian bawah hingga menghabiskan seluruh cambium yang ada. Itu sebabnya beberaa pohon langka ini ahirnya mati merana justru karena aroma wanginya. Sesuatu yang memang sangat disayangkan.***

masig alami

catatan : Artikel ini dijadikan rujukan oleh wikipedia untuk artikel berjudul Gunung Sanggabuana (update 16-07-2014)


-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga



Wednesday, May 15, 2013

Gunung Sanggabuana

Sangga Buana, ada sederet pemakaman tua di puncaknya
Gunung Sanggabuna (1291 Meter Dari Permukaan Laut – MDPL) adalah gunung tertinggi dan satu satunya gunung yang ada di dalam wilayah Karawang. Satu gunung dengan dua identitas yang sangat kental. Bagi paramiliter gunung ini dikenal sebagai kawah candradimuka pelatihan perang gunung. Sedangkan bagi paranormal dikenal sebagai salah satu tempat semadi melanglangbuana di dunia bathin.

Namun, bagi para pendaki gunung pro bisa jadi gunung ini hanyalah tempat plesiran atau sekedar persinggahan. Karena memang tak masuk dalam daftar gunung paforit untuk di daki oleh para pendaki. Tak perlu repot repot untuk bawa tenda naik ke puncak gunung ini kecuali bila memang dengan sengaja untuk tidak melalui jalur pendakian normal.


View puncak gunung sanggabuana in a larger map

Jalur pendakian ke gunung ini biasanya melalui dua jalur yang sudah umum dikenal. Yakni melalui jalur Cariu Kabupaten Bogor dan Melalui Rute Cigentis di Kabupaten Karawang. Jalur pendakian dari Cariu memang lebih singkat dibandingkan dengan jalur dari Karawang namun dengan tingkat kecuraman yang relative sama.

Mendaki ke gunung Sanggabuana bagi para pemula atau bagi mereka yang baru memulai lagi mendaki gunung setelah sekian belas tahun gantung sepatu sepertiku memang bukanlah hal yang mudah. Medan yang curam yang harus dilalui mencapai 80% dari keseluruhan jalur pendakian dari arah Karawang. 

medan yang dilalui memang cukup berat. seluruh tenaga terkuras saat mendaki dengan seluruh badan lemes lunglai. turunnya bikin dengkul dan baha nyeri karena menahan berat badan menuruni turunan terjal terus menerus.
Beberapa titik bahkan tidak lagi dapat disebut mendaki tapi memanjat karena medannya yang tegak lurus hingga harus berpegangan ke akar akar pohon yang malang melintang. Sebagian besar rute yang dilalui adalah laluan air hujan, jadi harus sangat hati hati saat melakukan pendakian dikala hujan atau setelah hujan, karena rute yang sangat licin.

Mendaki dari arah Karawang, kita akan melewati beberapa sungai sungai kecil alami dengan airnya yang jernih dan sejuk, sangat menggoda untuk sekedar berhenti sejenak, cuci muka atau bahkan untuk minum airnya yang jernih itu. Ada beberapa warung di sepanjang rute pendakian yang buka 24 jam meski tidak semuanya beroperasi setiap hari.

pendakian ke Sanggabuna tidak hanya dilakukan oleh anak anak muda, Pak tua satu ini bergabung dengan kami saat turun dari sana. lumayan katanya, biar punya temen yang jalannya sama sama alon alon asal klakon.
Dari tiga warung persinggahan yang kami lewati semuanya berada tak jauh dari sumber air berupa aliran sungai lengkap dengan pancurannya. Sekitar setengah perjalanan dari arah karawang kita akan berjumpa dengan satu komplek makam tua yang disebut sebut sebagai makam Langlangbuana. Makam Langlangbuana berada di bawah rimbun beberapa pohon yang tinggi besar menjulang. Ada beberapa pondokan disini bisa dijadikan tempat singgah istirahat sebentar. Hanya beberapa meter dari pondokan ada pancuran yang terkenal dengan nama pancuran air mata ibu.

Di warung terahir sebelum mencapai puncak gunung Sanggabuana, butuh sedikit perjuangan untuk mencapai sumber airnya yang disebut pancuran emas, dengan menuruni jurang dibelakang warung tersebut. Leluasa untuk mandi disini meski harus ekstra hati hati karena aliran airnya yang sangat deras dari ketinggian, ditambah lagi di sebelah hilirnya hanya berapa meter aliran airnya membentuk jeram yang menimbulkan suara gemuruh cukup keras.

gunung langseng begitu urang sunda menyebut gunung lancip sebelah kanan itu karena bentuknya yang memang mirip dengan alat pengukus nasi tersebut. 
Setengah dua belas malam lewat beberapa menit kami baru tiba di puncak gunung ini. sangat lambat untuk ukuran mereka yang sudah biasa mendaki, bahkan jauh lebih lambat dibandingkan dengan dua pendaki yang salah satunya sudah sangat sepuh (alias sudah aki aki ) yang menyalib kami saat separuh perjalanan.

Tak percuma perjuangan hanya bermodal semangat pantang menyerah ahirnya sampai juga. Si Kakek dengan hangat menyambutku ketika aku tiba di puncak, beliau sudah dengan santai menyantap kambing bakar bersama sekelompok pendaki lainnya di salah satu pondokan disana. Wuah.

hutan hujan tropis yang masih terawat di gunung sanggabuana
Hutan gunung Sanggabuana masih cukup terawat. Di hutan gunung ini kita masih dapat menikmati pepohonan yang tumbuh liar hingga mencapai ketinggian puluhan meter berjejer disana. Bahkan pepohonan sebesar truk yang bila kita berdiri di pangkal pohonnya akan terlihat sangat kecil dibandingkan pohonnya, masih bisa ditemui disini.

Sayangnya kawasan hutan ini belum masuk katagori sebagai kawasan hutan yang dilindungi. Di bulan September 2012 yang lalu camat Tegal Waru Meminta Sanggabuana dijadikan Hutan Lindung kepada Perhutani. Agar status kawasan hutan gunung Sanggabuana yang selama ini masuk dalam katagori hutan produksi di ubah menjadi hutan lindung untuk mencegah meluasnya kerusakan hutan di Karawang Selatan.

Mendaki gunung memang sangat melelahkan. Namun terbayar dengan pengalaman yang diperoleh selama dan sesudahnya. Pemandangan indah sepanjang perjalanan hanya salah satu hal yang dapat langsung dinikmati sebagai pengobatnya, namun lebih dari itu kita diberikan kesadaran bahwa “semakin tinggi kita berada semakin lebar sudut pandang yang kita peroleh”, atau bila di balik “bila menginginkan sudut pandang yang lebih luas, naiklah lebih tinggi” begitu juga dengan kehidupan kita.***

Tuesday, May 7, 2013

Apakah Sunan Gunung Jati Keturunan China ?

Ilustrasi Wajah Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati bernama asli Syarif Hidayatullah merupakan salah satu dari Sembilan wali penyebar Islam di tanah Jawa yang dikenal sebagai Wali Songo. Gunung Jati yang menjadi gelar nya itu diambil dari nama gunung (sebenarnya hanya sebuah bukit) bernama Gunung Jati di kota Cirebon. Di puncak bukit tersebut beliau dimakamkan. Selain sebagai wali songo, Sunan Gunung Jati juga merupakan sultan pertama dari Kesultanan Cirebon yang didirikannya atas dukungan penuh dari Kesultanan Demak di tahun 1478.

Sejarah Cirebon dengan jelas mencatat jatidiri dan silsilah Sunan Gunung Jati yang nasabnya dapat dirunut hingga ke Rosulullah S.A.W. Dari garis Ayah Sunan Gunung Jati merupakan putra dari Syarif Abdullah bin Nur Alam (atau Nurul Alim) dari Bani Hasyim. Sedangkan dari garis ibu, beliau merupakan putra dari Nyi Rara Santang (Syarifah Muda’im) Binti Prabu Jaya Dewata atau Raden Pamanah Rasa atau Prabu Siliwangi II.

Meski terdapat perbedaan nama, dari berbagai literature termasuk sejarah nasional di buku buku pelajaran sekolah di tanah air, Sunan Gunung Jati tercatat sebagai salah satu anggota dewan mubaligh Wali Songo yang berasal dari tanah Arab dan dapat di runut nasabnya hingga ke Rosulullah S.A.W.

Namun unik dan menariknya ada satu sumber sejarah yang menampilkan nasab Sunan Gunung Jati yang sama sekali berbeda. Sebuah silsilah yang menempel di tembok Kelenteng Talang di kota Cirebon menjelaskan silsilah Tan Sam Cay, pendiri kelenteng tersebut hingga ke Hayam Wuruk raja terbesar Majapahit.

Dalam silsilah tersebut disebutkan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan putra Sultan Trenggono (Sultan Demak ke tiga) dari Istrinya yang berasal dari Cina anak perempuan Swan Liong. Dengan sendirinya bila kita mengikuti silsilah ini dapat disebut bahwa Sunan Gunung Jati merupakan sunan berdarah Jawa-China.

Sunan Gunung Jati bukan satu satunya tokoh Islam tanah Jawa yang disebutkan dalam silsilah tersebut. disebutkan juga bahwa Raden Patah, Sultan Demak pertama disebut-sebut sebagai Pangeran Jin Bun, dan dikatakan sebagai anak Kertabumi (Raja yang memerintah Majapahit pada 1474 – 1478) dari seorang isteri Cina, anak babah Ban Hong.

Sebuah catatan yang cukup mencengangkan karena sama sekali bertentangan dengan arus utama catatan sejarah yang sekian lama dibukukan di tanah air. Sejarah Cirebon sendiri dengan tegas meyebutkan “Peran dakwah Syarif Hidayatullah didengar sampai di Kerajaan Demak yang baru berdiri 1478M. Dia kemudian diundang ke Demak dan ditetapkan sebagai “Penetap Panata Gama Rasul” di tanah Pasundan dengan gelar Sunan Gunung Jati, sekaligus berdirilah Kesultanan Pakungwati dengan gelar Sultan”.

Dari catatan tersebut jelas bahwa Sunan Gunung Jati hidup semasa dengan sultan Demak pertama yakni Raden Fatah. Mereka naik sebagai Sultan-pun di masa yang hampir bersamaan di dua kesultanan yang berbeda. Sultan Trenggono sendiri adalah putra ketiga Raden Fatah yang naik tahta setelah kakaknya Pangeran Sebrang Lor atau Pati Unus gugur dalam penyerbuan melawan Portugis.di Malaka. Dimasa pemerintahan Sultan Trenggono, Sunan Gunung Jati bahkan memainkan perang penting dalam penyerbuan ke Sunda Kelapa oleh pasukan gabungan Cirebon dan Demak yang dipimpin oleh Fatahillah.***

Thursday, May 2, 2013

Matahari di Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon

Kanan : ukiran bunga matahari di mihrab Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Kiri : Surya Majapahit.

Islam melarang penggunaan ukiran dan gambar manusia dan binatang dan bentuk mahluk hidup lainnya kecuali tumbuhan. Terutama di dalam masjid dan mushola. Karenanya, meski mimbar masjid Agung Sang Ciptarasa di Cirebon ini dipenuhi dengan ukiran ukiran nan indah yang dipatrikan ke batu pualam putih, tak satupun bentuk mahluk hidup disana.

Ukiran ukiran indah itu bermuara ke sebuah ukiran seperti bunga matahari di bagian puncak mihrab. Entah hanya sebuah kebetulan atau memang disengaja, bentuk bunga matahari itu sebelumnya pernah digunakan oleh kerajaan Majapahit sebagai lambang negara dengan nama Surya Majapahit.

Sedikit nukilan sejarah menyebutkan bahwa pembangunan masjid Agung Cirebon ini diprakarsai oleh Putri Pakungwati yang tak lain adalah Permaisuri dari Sunan Gunung Jati, melibatkan beberapa tokoh Wali Songo. Menariknya lagi proses pembangunan tersebut (konon) juga melibatkan Raden Sepat dan sisa sisa pasukannya.

Raden Sepat adalah panglima pasukan majapahit terahir yang menyerbu ke Demak pada saat kesultanan Demak baru berdiri. Penyerbuan yang justru berujung kepada ber-Islam-nya Raden Sepat beserta sisa pasukannya. Selain kemampuan perang, Raden Sepat memiliki kemampuan seni bangunan yang mumpuni, beliau yang kemudian merancang Masjid Agung Demak.

Dikemudian hari ketika Cirebon akan membangun sebuah Masjid Agung, Sultan Demak mengutus beliau ke Cirebon untuk membantu pembangunan masjid dimaksud. Bisa jadi, sisa anggota pasukan beliau yang kemudian mengukir mimbar ini, mengabadikan lambang Majapahit tersebut dalam bentuk bunga matahari. Wallohua’lam.***

-----------------------------------
Follow akun instagram kami di @masjidinfo |  @masjidinfo.id  | @hendrajailani
------------------------------------

Baca Juga