Monday, August 18, 2014

Bungong Jeumpa

Cempaka / kantil / Jeumpa

Dalam bahasa Aceh Jeumpa bermakna Cempaka yang merupakan nama bunga dan juga nama lain dari Negeri Campa. Negeri Campa dikenal secara luas sebagai sebuah Negara dalam bentuk kerajaan pertama di kawasan Indocina dan asia tenggara. Sekaligus sebagai Negara Islam pertama di kawasan terebut.

Di tanah aceh pernah berdiri sebuah kesultanan dengan nama Jeumpa. Ibukota kerajaan berada di lokasi yang kini dikenal sebagai desa Blang Sepeung, Kecamatan Jeumpa, Kabupaten Bireun, propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Meski sejarah keberadaan kesultanan ini terbagi dalam beberapa versi namun semuanya merujuk kepada satu kesimpulan yang sama bahwa di Aceh memang pernah ada kesultanan bernama Kesultanan Jeumpa.

Berdasarkan hasil penelusuran sejarah oleh sejarawan Aceh M Adli bersama TV Al-Hijrah (Malaysia) Kekalahan Campa menghadapi serbuan cina (atau mungkin yang dimaksud adalah serbuan Dai Viet) membuat sebagian besar rakyat dan Raja Campa mengungsi ke wilayah Kesultanan Samudera Pasai.

Pasai menerima kedatangan mereka dengan tangan terbuka dan mengizinkan mereka membentuk komunitas termasuk membentuk pemerintahan sendiri, orang Aceh kemudian menyebut nya dengan Kesultanan Jeumpa. Dimasa kini mungkin setara dengan pemerintahan propinsi, di dalam wilayah Kesultanan Samudera Pasai.

Kecantikan gadis gadis jeumpa ini yang (konon) menginspirasi pemuda pemuda aceh memuji ataupun merayu mereka dengan kidung “bungong jeumpa, bungong jeumpa, mekar di aceh……dan seterusnya’ yang arti harpiahnya “Bungong jeumpa, bungong jeumpa meugah di Acèh. . . . . . . .” dan pujian itu sepertinya bukanlah pujian kosong dari bujang yang sedang kasmaran pada bunga desa Jeumpa yang kecantikannya tidak saja kecantikan fisik semata tapi juga cantik pula ruhani-nya.

Menelusur perjalanan sejarah, kita memang akan menemui begitu banyak keterkaitan sejarah Negeri tercinta ini dengan Campa. Sejarah para wali songo, majapahit, Palembang, Pajajaran, Demak, Cirebon dan masih banyak lagi. Di tanah Jawa saja kita akan menemui begitu banyak situs sejarah yang oleh masyarakat setempat disebut sebagai “makam / maqom putri cempo”, cempo yang dimaksud adalah campa.

Salah satu istri Prabu Brawijaya V dari Majapahit adalah seorang muslimah Campa yang setelah menjadi istri Sang Prabu, menetap di Palembang dimasa pemerintahan adipati Ario Damar, meski banyak juga pendapat yang menyatakan bahwa istri Prabu Brawijaya V ini berasal dari daratan Tiongkok. Dari bungong Jeumpa ini lahir putra Brawijaya yang dikemudian hari dikenal dengan nama Raden Fatah.

Dengan sokongan penuh dari para wali, Raden Fatah kemudian mendirikan Kesultanan Demak yang menandai berahirnya sejarah Majapahit. Sepanjang hayat nya putri cempo “menemani” putranya berdakwah hingga ahir hayatnya, beliau wafat dan dimakamkan di dekat pasujudan Sunan Bonang di desa Bonang Lasem.

Putri cempo yang menjadi istri Prabu Brawijaya ini memang dikisahkan dalam banyak versi namun memiliki benang merah yang sama. Yakni bahwa beliau memiliki keterkaitan dengan Sunan Bonang, Sunan Ampel, Prabu Brawijaya V, Adipati Ario Damar dan Raden Fatah.

Bungong Jeumpa juga mewarnai sejarah di bagian barat pulau Jawa. Dari pernikahan Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang, santriwati pondok Quro – Karawang yang dibina oleh Shekh Hasanudin. Lahir putra pertamanya yang bernama Raden Walangsungsang atau lebih dikenal dengan Pangeran Cakrabuana. Dalam perjalanan pulangnya dari ibadah haji, Pangeran Cakrabuana singgah untuk berguru agama di Campa. disana beliau berguru kepada Syekh Ibrahim Akbar yang di Jawa disebut Sekh Jatiswara, dan kemudian memperisitri Nyai Retna Rasajati (Nyai Gedeng Kalisapu), putri Sekh Jatiswara.

Pangeran Cakrabuana dikenal sebagai pendiri Cirebon dengan gelar Sri Mangana, kekuasaanya di Cirebon kemudian diserahkan ke Keponakannya yang bernama Syarif Hidayatullah, dikemudian hari dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Salah satu Istri Sunan Gunung Jati yang bernama Putri Ong Tien yang kemudian berganti nama menjadi Nyi Ratu Rara Semanding, juga berasal dari Campa.

Adik bungsu Pangeran Cakrabuana, bernama Raja Sagara atau lebih dikenal dengan nama Kiang Santang, dikemudian hari menyusul kakaknya ke Cirebon. Setelah menunaikan Ibadah Haji berganti nama menjadi Haji Mansur. Seperti abangnya Haji Mansur juga singgah di Campa dan juga menikah dengan seorang putri Campa bernama Nyai Kalimah.

kuncup kantil 

Beberapa kisah diatas tentunya tidak selengkap dan sebenar aslinya. Negeri campa memang sudah lama sekali hilang dari peta bumi sejak Negara itu runtuh. Bekas wilayah Negara ini membentang dibagian tengah hingga ke selatan di wilayah yang kini dikenal sebagai Negara Vietnam. Muslim campa terdiaspora ke berbagai wilayah di indocina hingga ke Aceh. (lengkapnya baca: Campa, Negara Islam Pertama di Asia Tenggara).

Jeumpa hanyalah salah satu sebutan bagi Campa. di Nusantara kadang kadang nama Campa juga disebut sebagai Cempa kadangkala disebut juga sebagai Cempaka. Entah kebetulan atau memang begitu adanya, di nusantara ini nama cempaka seperti hal nya Kamboja, adalah juga nama bunga. Dan seperti yang disebut dalam kidung bungong Jempa tadi “……..Puteh kuneng dicampur mirah . . . . .” bunga cempaka memang terdiri dari cempaka putih, cempaka kuning dan cempaka merah. 

Di tanah Jawa, bunga cempaka kuning lebih dikenal dengan nama bunga Kantil. Bunga yang wanginya memang semerbak, dan telah digunakan sejak masa jawa kuno sebagai pengharum mahligai raja hingga mahligai pengantin, yang semuanya terkait dengan prosesi dan ritual. Sampai sampai kemudian bunga semerbak mewangi ini di identikkan dengan klenik, mahluk halus dan aroma mistis lainnya. Padahal cempaka adalah cempaka yang semerbak mewangi seperti halnya si “bungong jeumpa” . . . . . .

No comments:

Post a Comment