Tuesday, December 2, 2014

WARTEG Riwayatmoe Doeloe

Warteg Jaman Doeloe
WARTEG, 100% INDONESIA

Ketika pertama kali kembali lagi ke Pulau Jawa setelah sekian lama tingga di Batam, Kepulauan Riau, keinginan pertamaku adalah makan dan nongkrong di warteg, maklum warung makan seperti itu tak pernah kutemui selama tinggal disana, seorang teman yang menjemputku di bandara Soekarno Hata [kala itu] bahkan tertawa ngakak saat kubilang aku pengen makan di warteg. Warteg memang asik & 100% Indonesia.

ALKISAH TENTANG WARTEG

Ada dua versi tentang riwayat warteg atau Waroeng Tegal yang berkembang di masyarakat. Versi pertama menyebutkan bahwa Warteg telah ada sejak sekitar tahun 1628-1629 pada saat terjadi penyerbuan VOC di Batavia oleh Raja Mataram, Sultan Agung Hanyakrakusuma. Versi ini menyebutkan bahwa Untuk kepentingan perang, Sultan Agung memerintahkan pembukaan lahan sawah besar besaran di wilayah Indramayu, Karawang dan sekitarnya, untuk menjamin ketersediaan logistik pasukan yang akan bertempur dan mata mata kerajaan yang sedang menghimpun informasi.

Selain pembukaan sawah juga disebar warung makan disepanjang jalur penyerbuan. Bupati Tegal kala itu, Tumenggung Martoloyo ditunjuk sebagai senapati panglima perang, sekaligus menyiapkan ubo rampe peperangan, termasuk penyediaan logistik. Meski belum ada bukti otentik, kuat dugaan Martoloyo mengerahkan warga Tegal juga menjadi petani yang menyiapkan lahan di Indramayu, hingga menjadi juru masak pasukan di Batavia.

Tapi penyerangan yang dipimpin Tumenggung Baureksa dan Tumenggung Sura Agul-Agul tersebut tidak berhasil mengalahkan tentara kompeni. Karena saat hari pertempuran lumbung2 padi yang ada di daerah Karawang dan lainnya dibakar oleh mata-mata musuh, dan konon tradisi membuka warung warung warung-warung itu masih bertahan sampai hari ini.

Adalagi versi kedua yang menyebutkan bahwa Warteg bermula sejak tahun 1950-an hinggan 1960-an. Saat itu pembangunan infrastruktur di ibukota demikian pesat. Sejumlah proyek dikerjakan, yang menimbulkan efek berganda (multiplier effect) sejumlah pekerja (tukang dan kuli) yang cukup banyak. Pekerja bangunan ini umumnya mendirikan bedeng-bedeng sementara di lokasi proyek. Selain tempat tinggal, pekerja ini membutuhkan konsumsi yang dapat dijangkau koceknya: murah, dan banyak.

Peluang ini rupanya dibaca secara kreatif oleh warga Tegal. Kelompok imigran asal Tegal di ibukota mulai menyediakan layanan kuliner di lokasi proyek. Mereka mampu menjual produk yang murah dan banyak, yang kemudian menjadi satu stereotip Warteg yang dikenal publik hingga hari ini. Realitas ini kemudian menjadikan stereotip awal Warteg: berada di sekitar lokasi proyek, dibuat dari bahan-bahan semi permanen seperti halnya bedeng pekerja proyek, bersifat musiman mengikuti periodisasi pengerjaan proyek, dikerjakan oleh 3-5 pekerja borongan yang umumnya laki-laki.

Ada catatan menarik soal karakteristik Warteg ini. Umumnya satu Warteg diusahakan oleh kelompok keluarga secara bergantian. Satu periode (sekitar 3 bulanan) keluarga pertama mengelola warteg di kota, keluarga ke 2 akan mengelola lahan pertanian yang ada di kampung halaman, lalu periode berikutnya giliran keluarga kedua yang mengelola warteg dan keluarga kedua yang pulang kampung sementara sambil mengelola lahan pertanian yang ada di kampung halaman mereka, begitu seterusnya.

------------

Baca Juga



No comments:

Post a Comment